Di Tegal, perjuangan membentuk kekuasaan dan kepemimpinan baru
setelah Proklamasi Kemerdekaan RI memiliki dinamikanya sendiri yang
kompleks. Lebih kurang dua bulan setelah proklamasi, dan disusul
hilangnya pemerintahan Jepang, muncul petualang-petualang politik. Awal
November 1945, bergejolak suatu gerakan rakyat yang dikenal dengan
"Peristiwa Tiga Daerah", suatu peristiwa dalam sejarah revolusi
Indonesia yang terjadi di Kabupaten Brebes, Tegal, Pemalang, Karesidenan
Pekalongan, Jawa Tengah.
Saat itu, semua elite birokrat, pangreh
praja (residen, bupati, wedana, dan camat), dan sebagian besar kepala
desa "didaulat" dan diganti aparat pemerintahan baru, yang terdiri atas
aliran-aliran Islam, Sosialis, dan Komunis. Sebagai pemimpin atau
menurut istilah Achmad sebagai algojo adalah Sakyani alias Kutil (Tegal
Berjuang, Achmad, 1986: 13). Mereka dengan sengaja melempar isu-isu yang
isinya menghasut rakyat yang berdampak rakyat menaruh dendam terhadap
para pejabat pamong praja dan Kepolisian Negara bekas peninggalan
pemerintahan Jepang.
Pamong praja dan kepolisian bekas
pemerintahan Jepang bertugas mendampingi Komite Nasional Indonesia (KNI)
menjalankan pemerintahan di daerah. KNI Tegal, oleh para petualang
politik, dianggap belum cukup dan tidak mampu, maka muncullah hasutan
dan suara-suara "minir" menghendaki digantinya para pejabat pemerintah
daerah yang semasa pemerintahan Jepang memegang puncuk pimpinan.
Rakyat
Tegal protes dan menghujat serta melakukan aksi kekerasan terhadap
Residen Pekalongan Mr Besar, Wali Kota Tegal R Soengeb Reksoatmodjo,
Bupati Brebes Sarimin Reksodihardjo, Bupati Tegal RS Soenaryo, Bupati
Pemalang R Rahardjo. Mereka dianggap sebagai antek-antek NICA
(Netherlands Indies Civil Administration)-Pemerintahan Sipil Hindia
Belanda yang dipersiapkan untuk memerintah kembali setelah Jepang kalah.
Bupati
Tegal Soenaryo, anak angkat Kardinah, menjadi salah satu target gerakan
Kutil. Akan tetapi, sebelum aksi Kutil untuk menculik dan membunuh
Bupati Tegal tercapai, Soenaryo diselamatkan oleh Mansyur dari Pemuda
API (Angkatan Pemuda Indonesia). Penyelamatan Soenaryo berdampak pada
Kardinah yang saat itu ada di lingkungan kabupaten Tegal. Kardinah
menjadi sasaran kemarahan rakyat, didombreng dipermalukan di depan umum
lalu diarak keliling kota dengan pakaian goni dan diancam untuk dibunuh.
Ini menjadi peristiwa gelap bagi Kardinah. Sejak peristiwa itu, orang
Tegal tidak tahu di mana Kardinah berada. Salah satu tokoh emansipasi
wanita dari "Tiga Serangkai", pejuang kemanusiaan, adik RA Kartini ini
"hilang".
Sebagai istri Bupati Tegal Reksonegoro X yang menjabat
pada 1908-1930, Kardinah telah mewujudkan cita-cita Kartini. Di Tegal,
Kardinah bukan saja membangun rumah sakit, melainkan juga sekolah
kepandaian putri untuk gadis pribumi, membuat buku-buku pelajaran
tentang membatik dan memasak serta membangun rumah jompo. Mengingat
besarnya jasa-jasa Kardinah bagi masyarakat Tegal khususnya dan
masyarakat Indonesia pada umumnya menjadikan warga Tegal merasakan
kehilangan tokoh panutan yang telah menyumbangkan karya nyata dan
bermanfaat bagi masyakarat luas.
Bu Sardjoe (Sumiati Sardjoe),
istri Wali Kota Tegal Sardjoe yang menjabat pada 1967-1979, seorang ibu
yang tiada henti-hentinya mencari tahu keberadaan Kardinah, orang yang
pada 1927 mendirikan rumah sakit di Tegal dan cukup dikenal di
Karsidenan Pekalongan. Pertanyan itu muncul karena sejak Pertistiwa Tiga
Daerah, Kardinah tidak diketahui di mana rimbanya.
Jejak Kardinah
semenjak peristiwa itu seperti tenggelam ditelan bumi. Orang Tegal
tidak ada yang tahu keberadaan Kardinah. Kardinah cuma tinggal cerita
dari mulut ke mulut. Dari sini kemudian Sumiati Sardjoe sebagai wanita
yang paling bertanggung jawab terhadap perkumpulan wanita Tegal (GOW=
Gabungan Organisasi Wanita) mencari keberadaan Kardinah. Pada 1970,
ketika acara pertemuan GOW di Semarang, secara tidak sengaja Sumiati
Sardjoe duduk bersebelahan dengan Soemiani Sosrohadikoesoemo. Sumiati
Sardjoe mengeluhkan tentang upayanya mencari jejak Kardinah. Mendengar
keluhan itu, Soemiani merasa iba, lalu mengatakan dirinya adalah
keponakan Kardinah, putri RA Soematri, adik Kardinah. Kardinah ada di
Salatiga, rumahnya berhadapan dengan rumahnya. Saat itu pula Sumiati
Sardjoe ingin dipertemukan dengan Kardinah, tetapi Soemiani melarangnya
karena Kardinah setiap kali mendengar kata Tegal trauma, ingat saat
Kutil menganiayanya.
Masih curiga
Keberadaan
Kardinah di Salatiga diketahui setelah lebih dari 25 tahun semenjak
Peristiwa Tiga Daerah. Sumiati Sardjoe menemui Kardinah di Salatiga.
Pada saat pertama kali pertemuan dengan Kardinah di Salatiga, Kardinah
masih menunjukkan kecurigaan kepada orang Tegal. Kardinah masih memiliki
rekaman jejak kelam tentang orang-orang Tegal. Setelah dijelaskan
tentang maksud keinginannya mengangkat jejak perjuangan Kardinah, baru
Kardinah mau menemui Sumiati Sardjoe.
Tahun 1971, atas undangan
Sumiati Sardjoe, Kardinah berkunjung ke Tegal. Kedatangannya di Tegal
disambut haru warga Tegal. Di Tegal, Kardinah menginap di rumah dinas
Wali Kota, Jalan Proklamasi (sekarang Kantor Dinas Kesehatan). Sehari
semalam Kardinah datang ke Tegal dan dimanfaatkan untuk berziarah ke
makam suaminya di kompleks makam Amangkurat I Tegal Arum.
Berbeda
dengan Anto E Lucas yang mengutip pernyataan Kadarisman, tentang
penculikan Kardinah oleh gerombolan Kutil. Menurut Sumiati Sardjoe
berdasarkan pengakuan Kardinah, saat terjadinya Peristiwa Tiga Daerah,
Kardinah diarak dengan berpakaian karung goni keliling kota. Akan
tetapi, ketika sampai di depan Rumah Sakit Kardinah, Kardinah pura-pura
sakit dan dirawat. Pada malam harinya ada usaha penyelamatan oleh
orang-orang dekatnya sehingga Kardinah selamat dari amukan orang-orang
Kutil dan tidak sempat dibawa ke Adiwerna.
Sayangnya, kunjungan
singkat tersebut merupakan yang pertama sekaligus terakhir bagi
Kardinah. "Si Kecil" Kardinah, adik Kartini yang paling disayangi itu,
wafat pada 5 Juli 1971 dalam usia 90 tahun lebih. Kardinah semanyamkan
di pemakaman Tegal Arum Tegal, kompleks makam raja Mataram Amangkurat I,
di sebelah makam suaminya yang telah lama mendahului.
Kardinah
tidak pernah berharap untuk dimakamkan di Tegal. Tetapi, Wali Kota Tegal
saat itu, Sardjoe beserta istrinya Sumaiti Sardjoe, memutuskan untuk
menyemayamkan perempuan tak kenal lelah berjuang untuk kemanusiaan ini
di kota di mana dia mewujudkan cita-cita Tiga Serangkai (Kartini,
Roekmini, dan Kardinah).
Yono Daryono Pekerja Teater, Tinggal di Tegal
sumber : kompas.com
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar