Bank Indonesia belum akan menerapkan redenominasi, atau penyederhanaan dan penyetaraan nilai rupiah, dalam waktu dekat. Redenominasi membutuhkan komitmen nasional serta waktu dan persiapan yang cukup panjang. Hingga kini redenominasi baru pada tahap kajian.
Wakil Presiden Boediono di Kantor Wakil Presiden, menegaskan, kalaupun kajian tersebut sudah diselesaikan, masih panjang jalan untuk menggunakan hasil kajian itu menjadi kebijakan.
”Studi itu berlanjut, belum selesai, belum tahu berapa lama. Kalau sudah ada hasil definitif, nanti dilaporkan ke pemerintah, kemudian dibahas, ada wacana publik. Prosesnya panjang untuk membuat studi itu menjadi policy,” ujar Wapres.
Oleh karena itu, Wapres mengimbau semua pihak untuk menjaga ketenangan dan kestabilan situasi ekonomi dan moneter.
Menurut Wapres, redenominasi bukan berarti menandakan perekonomian memburuk. Redenominasi justru dilakukan pada saat perekonomian dalam kondisi yang baik.
Potensi inflasi saat ini, menurut Wapres, justru lebih menjadi perhatian pemerintah. Berkaitan dengan upaya menjaga tingkat inflasi tersebut, pemerintah kini mendorong kelancaran arus suplai bahan-bahan kebutuhan pokok masyarakat. Kenaikan harga menjelang bulan puasa dan Lebaran akan bersifat sementara dan terkendali.
Pernyataan senada disampaikan oleh Pjs Gubernur BI Darmin Nasution. Dijelaskan, saat ini BI masih melakukan riset mengenai redenominasi dan secara aktif akan berdiskusi dengan sejumlah pihak untuk mencari masukan. Hasil kajian yang dilakukan BI akan diserahkan kepada pihak-pihak terkait agar dapat menjadi komitmen nasional.
Darmin menambahkan, BI menilai, keberhasilan redenominasi sangat ditentukan oleh berbagai hal yang saat ini tengah dikaji, sebagaimana yang telah dilakukan oleh beberapa negara yang berhasil melakukannya.
Redenominasi biasanya dilakukan pada saat ekspektasi inflasi berada di kisaran rendah dan pergerakannya stabil, kondisi ekonomi yang stabil dan menuju ke arah yang lebih sehat, ada jaminan stabilitas harga, serta adanya kebutuhan dan kesiapan masyarakat.
Menanggapi keresahan dan pro-kontra mengenai redenominasi yang berkembang selama beberapa hari terakhir, Darmin menegaskan, redenominasi sama sekali tidak merugikan masyarakat.
”Redenominasi berbeda dengan sanering atau pemotongan uang. Dalam redenominasi, nilai uang terhadap barang (daya beli) tidak akan berubah. Yang terjadi hanyalah penyederhanaan dalam nilai nominal berupa penghilangan beberapa digit angka nol,” ujar Darmin.
Redenominasi, lanjut Darmin, akan menyederhanakan penulisan nilai barang dan jasa, yang diikuti penyederhanaan penulisan alat pembayaran atau uang. Selanjutnya, hal ini akan menyederhanakan sistem akuntansi dalam sistem pembayaran tanpa menimbulkan dampak negatif terhadap perekonomian.
Adapun sanering adalah pemotongan uang dalam kondisi perekonomian yang tidak sehat, yang dipotong nilai uangnya.
Sebagai contoh, harga 1 liter premium saat ini Rp 4.500. Jika terjadi redenominasi 3 digit, dengan uang Rp 4,5 tetap dapat membeli 1 liter premium karena harga 1 liter premium juga dinyatakan dalam satuan pecahan yang baru. Adapun jika yang terjadi sanering per seribu rupiah, dengan Rp 4,5 hanya dapat membeli seperseribu atau 0,001 liter premium.
Tidak tersentuh
Pengamat ekonomi dan pasar modal Ferry Latuhihin mengatakan, tidak ada faktor fundamental perekonomian yang tersentuh dengan adanya redenominasi karena tujuan redenominasi hanya untuk mempermudah transaksi dan sistem pembayaran saja. Ini berbeda dengan sanering, yang merupakan kebijakan moneter dan bertujuan menekan angka inflasi serta mengembalikan kepercayaan pada mata uang tertentu.
Oleh karena itu, lanjut Ferry, masyarakat tidak perlu panik dengan wacana redenominasi. ”Kenapa harus panik? Wong uang seratus ribu yang lama nilainya sama dengan uang seratus perak yang baru,” kata Ferry.
Redenominasi mungkin memberikan dampak psikologis yang kurang baik kepada masyarakat apabila masyarakat salah memersepsikan dan mendefinisikan redenominasi. Oleh karena itu, jika hal itu diterapkan, BI harus menyosialisasikan redenominasi dengan baik dan cermat agar tidak menimbulkan kecemasan.
”BI juga harus bisa menyampaikan kepada masyarakat bahwa redenominasi hanya masalah teknis, bukan kebijakan moneter. Redenominasi tidak ada hubungannya dengan harga saham atau dollar sebab ini bukan kebijakan fundamental,” ujar Ferry.
Menurut pengamat ekonomi Mirza Adityaswara, tidak ada kebutuhan redenominasi rupiah saat ini karena perekonomian baik-baik saja. ”BI lebih baik memikirkan bagaimana menurunkan inflasi yang belakangan ini mulai meningkat dan pemerintah memikirkan bagaimana mempercepat pembangunan infrastruktur,” katanya.
Pelaksanaan redenominasi saat ini, kata Mirza, hampir tidak ada manfaatnya. Malah, hanya menimbulkan efek psikologis yang bisa positif ataupun negatif, tergantung dari taraf pengetahuan masyarakat.